Awas! Facebook Bisa jadi "Ranjau" Digital
by: Mr.Ang
Situs jejaring sosial bisa menjadi ranjau digital bagi sekolah.
Facebook jadi media yang menambah kerumitan hubungan guru dan murid.
Seberapa bahaya?
Pekan lalu, tiga guru di New York dituduh melakukan hal tidak pantas
karena ‘berteman’ dengan muridnya di Facebook. Salah satu guru sering
memberikan komentar genit seperti ‘Ini sangat seksi’ di salah satu foto
muridnya. Tidak hanya itu, ada berbagai komentar melecehkan yang
menyebabkan mereka dipecat.
Jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter menjadi pisau bermata dua. Satu sisi, Facebook berbahaya terkait banyaknya pelecehan di mana remaja jadi korban di situs populer tersebut. Namun, media ini juga jadi bagian di beberapa program pendidikan sekolah.
Menjauhkan anak dan guru dari Facebook mungkin menjadi pencegahan yang terbaik. Namun itu tidak sesederhana kedengarannya. Banyak sekolah di AS yang mendorong penggunaan Facebook untuk membuat halaman fans, atau mempublikasikan pengumuman informasi sekolah.
Bahkan beberapa guru mengatakan mereka senang terhubung dengan muridnya secara online, untuk melihat apakah tugas sekolah telah dikerjakan.
Pengacara National School Boards Association Lisa Soronen mengatakan bahwa pihaknya tidak punya posisi resmi untuk mengatur penggunaan Facebook, meskipun mereka sering mempublikasikan bahayanya situs jejaring sosial terpopuler ini.
“Jangan terlibat dalam jejaring sosial dengan siswa. Facebook bukanlah media di mana guru dapat berhubungan dengan siswa secara normal. Semua interaksi antara guru dan murid haruslah profesional,” ujar Soronen.
Masalah lain adalah menjaga murid dari gambar atau informasi pribadi guru. Banyak pihak sekolah mengakui para pegawainya tidak tahu bentuk pengaturan privasi di Facebook.
“Yang mengagetkan, ada banyak guru yang tidak memahami pengaturan informasi. Mereka berasumsi bahwa semua informasi tidak terpublikasikan secara luas,” kata Michael Simpson, general counsel National Education Association.
Contohnya, guru di Washington menulis “Saya hanya punya dua perasaan yaitu lapar dan gairah. Saya tidur dengan banyak orang” di Facebook. Padahal, banyak orang yang berteman dengannya di Facebook dalam lingkup akademik.
Selain itu, Soronen menyebutkan bahwa banyak guru muda yang melakukan lompatan dari bangku kuliah ke dunia kerja pertama dengan melakukan banyak kesalahan. Mereka tidak tahu kapan harus membatasi dunia online menyangkut gambar atau pernyataan yang berpotensi memalukan.
“Apa yang pantas dipublikasikan saat kuliah ternyata tidak pantas dilakukan saat ini,” kata Soronen. “Pihak sekolah harus mengembangkan program profesional soal ini. Segala perilaku acuh harus dihapuskan.”
Sangat sulit bagi guru untuk mengontrol citra Facebook mereka. Di sisi lain, meskipun siswa memiliki hak yang dilindungi secara konstitusional, mereka seringkali mengkritik guru dan pegawai sekolah lain secara online, termasuk di situs jejaring sosial.
Di Florida, siswa bernama Katherine Evans diskors dan menghadapi beberapa hukuman karena membuat halaman khusus bagi guru bahasa Inggris di sekolahnya dengan judul ‘Guru Terburuk yang Perah Ditemui’. Ia mengundang banyak orang untuk bergabung.
Sayangnya, tindakan tidak sopan itu malah didukung American Civil Liberties Union (ACLU) di mana mereka mendukung Evans untuk balas menuntut pihak sekolah di Pengadilan Distrik Florida, AS. Mereka meminta pihak sekolah menghapus semua catatan keburukan sifat Evans.
Randall Marshall, direktur legal di ACLU Florida mengatakan bahwa tidak ada hukum yang melarang murid mengatakan pendapat secara online. ito/mdr/inilah
Sumber :www.surya.co.id
Jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter menjadi pisau bermata dua. Satu sisi, Facebook berbahaya terkait banyaknya pelecehan di mana remaja jadi korban di situs populer tersebut. Namun, media ini juga jadi bagian di beberapa program pendidikan sekolah.
Menjauhkan anak dan guru dari Facebook mungkin menjadi pencegahan yang terbaik. Namun itu tidak sesederhana kedengarannya. Banyak sekolah di AS yang mendorong penggunaan Facebook untuk membuat halaman fans, atau mempublikasikan pengumuman informasi sekolah.
Bahkan beberapa guru mengatakan mereka senang terhubung dengan muridnya secara online, untuk melihat apakah tugas sekolah telah dikerjakan.
Pengacara National School Boards Association Lisa Soronen mengatakan bahwa pihaknya tidak punya posisi resmi untuk mengatur penggunaan Facebook, meskipun mereka sering mempublikasikan bahayanya situs jejaring sosial terpopuler ini.
“Jangan terlibat dalam jejaring sosial dengan siswa. Facebook bukanlah media di mana guru dapat berhubungan dengan siswa secara normal. Semua interaksi antara guru dan murid haruslah profesional,” ujar Soronen.
Masalah lain adalah menjaga murid dari gambar atau informasi pribadi guru. Banyak pihak sekolah mengakui para pegawainya tidak tahu bentuk pengaturan privasi di Facebook.
“Yang mengagetkan, ada banyak guru yang tidak memahami pengaturan informasi. Mereka berasumsi bahwa semua informasi tidak terpublikasikan secara luas,” kata Michael Simpson, general counsel National Education Association.
Contohnya, guru di Washington menulis “Saya hanya punya dua perasaan yaitu lapar dan gairah. Saya tidur dengan banyak orang” di Facebook. Padahal, banyak orang yang berteman dengannya di Facebook dalam lingkup akademik.
Selain itu, Soronen menyebutkan bahwa banyak guru muda yang melakukan lompatan dari bangku kuliah ke dunia kerja pertama dengan melakukan banyak kesalahan. Mereka tidak tahu kapan harus membatasi dunia online menyangkut gambar atau pernyataan yang berpotensi memalukan.
“Apa yang pantas dipublikasikan saat kuliah ternyata tidak pantas dilakukan saat ini,” kata Soronen. “Pihak sekolah harus mengembangkan program profesional soal ini. Segala perilaku acuh harus dihapuskan.”
Sangat sulit bagi guru untuk mengontrol citra Facebook mereka. Di sisi lain, meskipun siswa memiliki hak yang dilindungi secara konstitusional, mereka seringkali mengkritik guru dan pegawai sekolah lain secara online, termasuk di situs jejaring sosial.
Di Florida, siswa bernama Katherine Evans diskors dan menghadapi beberapa hukuman karena membuat halaman khusus bagi guru bahasa Inggris di sekolahnya dengan judul ‘Guru Terburuk yang Perah Ditemui’. Ia mengundang banyak orang untuk bergabung.
Sayangnya, tindakan tidak sopan itu malah didukung American Civil Liberties Union (ACLU) di mana mereka mendukung Evans untuk balas menuntut pihak sekolah di Pengadilan Distrik Florida, AS. Mereka meminta pihak sekolah menghapus semua catatan keburukan sifat Evans.
Randall Marshall, direktur legal di ACLU Florida mengatakan bahwa tidak ada hukum yang melarang murid mengatakan pendapat secara online. ito/mdr/inilah
Sumber :www.surya.co.id